Jumat, 20 November 2009

ketika tuhan kau tinggalkan (mulyadi syamsuri, 2009)

Seorang sahabat bertanya tentang alasan mengapa kini Tuhan seolah-olah ditinggalkan oleh manusia, tak laku lagi, kalah bersaing dengan hal-hal duniawi. Aku diam saja, malu untuk menjawab, karena hati kecilku berkata: aku tidak jauh berbeda dengan manusia-manusia yang meninggalkan Tuhan itu..

***

Sebuah hipotesa mengatakan: modernitas akan mereduksi spiritualitas. Semakin modern suatu zaman, semakin tersingkir spiritualitas ke pinggiran. Jika hipotesa itu benar, apakah itu berarti manusia zaman dulu –yang belum modern- memiliki derajat spiritualitas yang lebih tinggi dari manusia zaman sekarang? Aku menjawab: Belum tentu! Apakah manusia zaman dulu –karena belum modern- tidak ada yang ingkar pada Tuhan? Aku menjawab: Tidak juga. Bukankah dalam kitab suci banyak ditemukan kisah tentang kaum-kaum terdahulu yang ingkar lalu dihukum oleh Tuhan? Apakah betul manusia zaman modern jauh lebih bejat dan buruk tabiatnya daripada manusia zaman dulu? Aku menjawab: Tidak betul! Apakah modernitas adalah sebuah kejelekan, keburukan atau jebakan maut setan? Aku menjawab: Tentu tidak! Lalu apa yang salah dengan modernitas? Aku menjawab: Tak ada yang salah dengan modernitas dan jangan pernah menyalahkan modernitas! Akan tetapi, salahkanlah manusia-manusia yang mau saja dibentuk menjadi makhluk bermental instan oleh modernitas!
Instan? Ada apa dengan kata ini?

Adalah ‘instan’ yang membedakan masyarakat pra-modern dengan masyarakat modern. ‘Instan’ yang biasa dikonotasikan dengan kata ‘cepat’, ‘mudah’, ‘simpel’, ‘praktis’ dan ‘tidak ribet’ adalah produk manusia modern yang membuat kehidupan mereka ratusan langkah lebih maju dari masa lalu. Dengan embel-embel ‘instan’, segala hal jadi lebih cepat, mudah, praktis dan efisien di zaman modern. Ambil contoh dari segi minuman: jika manusia zaman dulu ingin meminum kopi, ia harus membeli kopi bubuk, gula dan filter untuk menyaring bubuk kopi. Bila ingin lebih nikmat, ia harus membeli lagi susu dan creamer sebagai tambahannya. Namun di zaman modern, tak usah lagi repot-repot untuk menikmati secangkir kopi yang mantap. Cukup beli kopi ABC 3 in 1, seduh dengan air panas, selesai. Lalu dari segi makanan, kini muncul bubur instan –mengikuti jejak mie instan, makanan andalan di segala sikon- sehingga bagi yang ingin menikmati semangkuk bubur, tidak usah lagi repot-repot untuk membeli beras, menanak nasi, memasukkan bumbu-bumbu, menambah kecap dan menggoreng bawang serta kerupuk. Cukup beli bubur instan, seduh dengan air panas, tunggu beberapa menit, sajikan dengan bumbu, kecap, taburi dengan bawang goreng dan kerupuk, selesai. Itu baru dari segi minuman dan makanan, belum lagi dari segi transportasi dan komunikasi, jauh lebih canggih lagi. Segalanya jadi lebih cepat, mudah, simpel, praktis, dan tidak ribet. Tidak heran, manusia pada akhirnya sangat mencintai hal-hal yang instan.

Lalu apa kaitan antara modernitas (yang diwakili kata ‘instan’) dengan tereduksinya spiritualitas (yang kali ini diartikan dengan kedekatan pada Tuhan, meski sebenarnya spiritualitas tidak melulu bicara tentang Tuhan)? Ternyata, aspek-aspek kehidupan manusia yang kini serba instan ikut mempengaruhi pandangan dan pemikiran manusia tentang bagaimana enaknya –bukan baiknya- hidup itu harus dijalankan. Hidup di zaman modern harus dijalani dengan pola pikir instan.

Semua manusia tahu bahwa apa yang Tuhan janjikan pada manusia (kehidupan setelah kematian, hari pembalasan, surga, nereka) adalah janji-janji ukhrawi jangka panjang yang tidak langsung terasa efeknya, sedangkan kehidupan duniawi menawarkan janji-janji jangka pendek berupa kesenangan yang langsung terbukti, bersifat nyata dalam kehidupan manusia dan dapat disaksikan dengan kedua bola matanya. Dan manusia adalah makhluk yang suka tergesa-gesa, sehingga kebanyakan dari mereka mudah tergoda dengan opsi yang kedua meski harus menggadaikan opsi yang pertama. Hal ini mungkin dikarenakan dua hal: satu, tidak semua manusia mau bersabar menunggu kesenangan yang letaknya masih terlalu jauh. Kedua, tidak semua manusia yang mau bersabar itu mampu bersabar dengan baik, menunggu kesenangan yang tidak dapat ia bayangkan hingga akhirnya dia menyerah dan berhenti di tengah jalan. Sabar adalah kata yang enteng untuk diucapkan tapi berat untuk dilaksanakan kecuali buat manusia-manusia pilihan yang disayangi Tuhan.

Oleh karena itu, jangan heran bila partai-partai politik rajin memberi bantuan dan sumbangan cuma 2-3 bulan sebelum pemilu (partai-partai sialan! Mana posko bantuan kalian buat korban gempa Tasikmalaya dan Sumatera Barat?). Jangan heran bila ada seorang bos yang memiliki uang 100 juta, kemudian dia gunakan berkencan dengan primadona-primadona di diskotik ternama di ibukota (atau kalau mau yang masih ‘natural’ dan tidak terlalu mahal, cari saja ke desa-desa di kaki gunung sana) daripada disumbangkan di jalan Tuhan sambil berdo’a agar kelak diganjar dengan bidadari surga. Jika punya kesempatan untuk merampok uang rakyat, ambil saja buat membeli mobil mewah atau membangun rumah megah daripada berbuat jujur dan amanah. Janji-janji Tuhan telah dikalahkan oleh kesenangan-kesenangan instan. Maka jangan heran bila di negeri ini banyak yang korupsi, jangan heran jika jalan menuju Tuhan adalah jalan yang sepi!

Aku melihat Tuhan telah ditinggalkan. Manusia modern –konon katanya- hanya ingat Tuhan dalam tiga kesempatan: ketika ditimpa kesulitan dan ujian, ketika upacara pernikahan dan ketika sebentar lagi dijemput oleh kematian. Nama Tuhan hanya digantung dan dipajang di dinding-dinding rumah, hanya disebut dalam tempat-tempat ibadah. Tak ada lagi tempat untuk Tuhan di hati dan pikiran manusia. Tempat-Nya telah digantikan oleh berhala-berhala dunia. Padahal apa yang berhala-berhala itu berikan? Hanya kesenangan sesaat. Apa yang Tuhan berikan untukku? Segalanya. Dan apa yang aku berikan untuk Tuhanku? Tidak ada, selain 30 menit dalam sehari semalam. 23,5 jam sisanya aku serahkan untuk berhala-berhala dunia.

Sahabatku, aku tak mau menjawab pertanyaanmu tapi aku menyadari kesedihan dan kegalauanmu tentang tindak-tanduk manusia di dunia. Kadang, aku berfikir bahwa Tuhan akan bersedih atas ketidakadilan yang diterima-Nya (manusia menzalimi Tuhan, bayangkan!) tapi aku segera menyadari bahwa itu adalah pemikiran yang bodoh lagi tolol. Tuhan tak akan pernah merasa kesepian. Masih ada burung-burung, daun-daun, gemericik air dan segala hal seisi bumi dan langit yang tak henti-henti memuja nama-Nya. Dia tidak akan pernah merasa rugi meski manusia satu bumi ramai-ramai tidak menyembah-Nya lagi. Sahabatku, janganlah bersedih jika Engkau melihat aku-aku ini berjalan menjauhi Tuhan karena di mata-Nya aku-aku ini hanya buih, tidak lebih..

jadinya gmn?